Entri Populer

Senin, 27 Oktober 2014

Aku Akan Pulang


Teriring doa ketika manusia meninggalkan dunia
Dengan berbalut kain kafan sepanjang dua meter
Berpulang ke Rabb-nya menghadap hari penimbangan
Diringi malaikat berbaju putih nan suci
Lalu kapan waktu itu mendatangiku
Dan membawaku menemui Sang Kholiq
Hingga aku melihat surga
Tempat dimana orang yang bertakwa dan beramal sholih

Saat itulah aku merasa bahagia
Karena telah aku tinggalkan dunia yang kotor
Yang penuh dengan kesesatan dan kedzaliman
Juga tangan-tangan kemaksiatan

Bersama batu ikhlasku di dinding-Nya
Bersama marmer berkilau ibadahku di lantai-Nya
Bersama kaca cahaya taubatku di atap-Nya
Bersama kemerlap kebaikanku di jendela-Nya

Maka hapuskanlah pandangan tentang kematian
Rasa takut akan kembali di pelukan-Nya
Hanya satu jalan menuju keindahan
                                Siapkan dari dini menjadi muslim sejati

Kamis, 23 Oktober 2014

Alasanku Jauh dari Gadget

Untuk apa waktumu ? Bermain dengan gadget atau memperbaiki akhlaqmu ? Tanyakan pada hatimu, ketika dalam setiap hari tak mampu merubah memori buruk menjadi kebaikan.
Mungkin lebaran menjadi moment kaya raya bagi yang saudaranya berduit, ya akupun merasakan atmosfernya, haha. Hampir satu juta aku memperoleh uang dari mereka, Alhamdulillah ( perkataan wajib saat segala nikmat menghampiri ).
"Ya ampun mbak, hari gini HP mu nggak ber gadget, kurang gaul mbak." Tanya Serwin
"Emang untungnya gadget tan apa ? Woles saja. " Jawabku singkat.
"Mbak di dalam gadget itu ada fitur-fitur menarik lho... bisa BBM-an, nge game, LINE, KAKAO, WE CHAT, banyaklah mbak :D ."
"Iyes.. ngabisin duit buat beli  paketannya."
"Lhoh itu positifnya, kita dihadapkan dalam sistem management uang."
"Maaf ya management uangku untuk hal-hal yang lebih penting dan NYATA !"
"Nyata??? Maksudnya???"
* Tidak kulanjutkan keterangannya.
Kenapa aku bilang nyata? Menurutku gadget hanya akan mengubah pemikiran kita menjadi maya, Islam itu lebih suka dengan silaturahmi, tetapi sekarang model silaturahminya dengan media elektronik. Senyum simpul dengan keadaan. Pengalaman pahit mungkin pernah aku alami, ketika di suatu perkumpulan aku hanya seorang diri dengan HP jadulku, dan mereka asyik dengan gadgetnya tanpa memperhatikan sekeliling. Ada lagi, ibunya temanku konsultasi tentang psikolog anaknya, kata beliau nilai mata pelajaran anaknya benar-benar di bawah rata-rata. Waktu aku tanya penyebabnya, jawabnya keseringan main gadget. Ya Allah... Astaghfirullah.. saya harus berkomentar apa coba? Kebanyakan orang memang tidak memposisikan gadget secara benar, mereka tergiur akan aplikasi modern. Dan itu bukan tipe saya :)
Sedikit pertanyaan bagi kalian pengguna gadget, jangan lupa di jjawab pada kolom komentar ya? Matur nuwun, terima kasih, thanks, syukron, arigatou, dll.
1. Apa gadget membuatmu telat waktu sholat?
2. Berapa lama kamu berhubungan dengan gadget dan Al-Qur'an dalam sehari?
3. Kalau lagi mainan gadget, tiba-tiba disuruh orang tua, milih mana?
4. Temenmu nggak punya gadget, dan lagi ngobrol sama kamu, tiba-tiba ada BBM terus, sikap kamu bagaimana?

Senin, 20 Oktober 2014

Seberang Pulau

Lambaian dedaunan bersemilir menyapa
Ketika langkahmu rampak nian tak terjamah
Tanpa kata dan waktu seakan bersenandung
Menjawab kesepian dalam serpihan duka
            Berlalu bagai fatamorgana yang musnah
            Terpatri dan harus terputus jua
            Saat mata memejam di pemahaman
            Ketika jiwa terlelah merasuk letih
Salam di kota Jogja tak tersampaikan
Dewa di kota Kalimanta Timur tanpa kabar
Serunai yang berjajarpun berdendang
Antara elegi pertemuan dan perpisahan
            Terdiam aku dalam pengasingan
            Teruji aku dalam kesabaran
            Jarak tanpa komunikasi memecah hati
            Memecah tanya menimbulkan prasangka
Dan ketika perahu telah berlayar ke dermaga
Pertanyaan lalu menguntai penuh harap
Di tepian pohon aku tersadar lalu terbangun
Saat mengerti langkahnyapun belum merapat

Menjadi Penulis Profesional

Ketika kamu bicara, kata-katamu hanya bergaung ke seberang ruangan atau sepanjang koridor. Tapi ketika kamu menulis, kata-katamu bergaung sepanjang zaman.
( Bud Gardner )
            Banyak orang yang bicara tentang menulis suatu karya sastra, bagaimana tingkat kesulitannya ataupun cara mereka menuangkan pemikirannya dalam serangkaian kalimat. Bahkan ada pula asumsi bahwa menjadi penulis itu tidak menyenangkan, lalu bisakah negeri ini melahirkan buku-buku berbobot bagi generasi bangsa, jika otak-otak tersebut hanya memikirkan sisi kesusahannya?
            Mulailah untuk hal menyenangkan dan berfikirlah pada tantangan yang menghasilkan kesuksesan. Salah satunya dengan menulis! Bagaimana caranya? Awali dengan impian, tekad dan kemauan, maka jalanilah prosesnya seperti pertumbuhan hidup manusia sesuai tahapnhya. Kedua, kuatkanhlah dengan kerja keras dan doa, buanglah semua pemikiran pesimis dalam dirimu. Ketiga, lanjutkan dengan disiplin, sebab lebih banyak orang memiliki bakat daripada disiplin, itulah mengapa disiplin dibayar lebih tinggi. Terakhir, jangan ragu untuk memulai menulis, rajinlah membaca dan bergaul, sehingga apa yang kamu dapatkan mampu menjadi ide pada karya tulismu. Mintalah berbagai pendapat orang lain agar kamu lebih memiliki wawasan luas, jika sudah yakin sebaiknya langsung di kirim ke penerbit.
            Seiring berjalannya waktu, segala yang di tulis akan mengalir begitu saja bagai air sungai mengalir ke lautan. Tetapi bagi sebagian orang memunculkan ide itu susah, oleh karenanya perbanyaklah membaca, menjawab pertanyaan dari orang lain, berdiskusi dengan orang lain dan peka terhadap lingkungan sekitar. Maka secara perlahan ide-ide baru akan bertaburan di dalam pemikiranmu. Lantas bagaimana akan nyaman menulis, jika bakat adalah kesabaran yang panjang? Tidak perlu gelisah, tanpa bakatpun kita bisa menjadi penulis. Lokasi yang sesuai keadaan hati, peralatan kepenulisan, serta menghindari kejenuhan, dengan sendirinya melahirkan kenyamanan untuk menulis.
            Cukup dengan sikap yang selalu meragukan diri sendiri, kau akan rugi! Beranikanlah dirimu mengambil semua risiko jika tidak menginginkan risiko lebih besar itu ada! Bukan zamannya lagi untuk berputus asa, merasa diri lemah dan tidak memiliki semangat membara. Kita dapat melakukan apapun sesuai kesukaan, termasuk dalam hal menulis, dimana tingkatan kategorinya cukup mudah menurut saya. Tetapi jika cara diatas belum membangkitkan motivasi, maka bayangkanlah keuntungan-keuntungan yang  akan kamu peroleh saat sudah di publikasikan, bahkan terjual banyak.
            Uang memang tidak di bawa mati, tetapi hidup kita membutuhkan uang. Sehingga pekerjaan yang mapan sangatlah penting bagi semua orang. Begitu pula menjadi penulis, raihan keuntungan luar biasa dapat kita raih. Kuntungan finansial (ekonomi), mulai dari penerbit membayar karya kita dan tambahan honor artikel, cerpen, maupun opini yang kini berkisar antara 150.000 sampai satu juta rupiah per naskah. Secara otomatis, pengetahuan kita meningkat, karena ketika menulis pasti muncul permasalahan-permasalahan baru, sehingga membutuhkan pemecahan baru pula. Dengan tulisan, kita mampu berbagi ilmu bersama orang-orang guna menimbulkan kepuasan dan rasa bahagia pada diri. Bahkan lewat tulisan juga, secara tidak  langsung isi hati kita terungkapkap dalam tulisan tersebut. Keuntungan terakhir, demi kepopuleran, orang-orang beralih menulis karya sastra.
            Ungkapan  hati seorang penulis yang penuh ketulusan dan keikhlasan lebih berharga dari sekedar kemewahan duniawi. Apa  masih takut untuk menulis? Rubah pemikiran tersebut dari dirimu, lihat mereka para  penulis besar, berapa keuntungan di dapatkannya? Ratih Sang, Salim A. Fillah, Habiburahman El Shirazy, Andrea Hirata, dan masih banyak lagi, betapa hidupnya luar biasa berkat karya-karya tulisannya. Andapun bisa seperti mereka, yakinlah!
            Taukah kamu Ratih Sang? Awalnya hanya seorang model di era 90-an, tidak  memiliki bakat untuk menulis, tetapi dia memberanikan menulis karya sastra, hingga tak terhitung berapa banyaknya tulisan yang sudah di kantongi. Dari puisi, cerpen, novel, buku agama dan motivasi, itu semua karena keyakinan juga ketekunannya merangkai kata demi kata. Ketidak takutannya bekerja keras, maka peluang munculnya besar, sehingga kita juga harus bekerja keras demi memperoleh hasil maksimal.
            Keputusan kini berada di tanganmu, jika masih berfikir pada keragu-raguan, maka bersiaplah untuk menerima kerugian. Menulis itu indah, memainkan imajinasi itu menyenangkan, dan berkarya itu mudah. Tiada kesulitan dimana kita berusaha, bersungguh-sungguh, serta membulatkan tekad, maka jalan mampu di tempuh dengan sendirinya. Selamat mencoba mendahsyatkan dirimu dalam dunia kepenulisan, semoga terinspirasi! J

Vredeburg

Benteng ini mengajakku menari dalam kolam darah
Benteng ini bercengkerama mengurai sejarah
Benteng ini membuat nyata kemerdekaan negeriku
Benteng ini menyuarakan serangan umum 1 Maret dulu

Dimana aku mulai mengerti apa itu kotaku
Dimana aku berdiri disini karena pahlawanku
Dimana aku dan ribuan orang lainnya dipertahankan
Dimana aku merasakan dahsyatnya perjuangan

Lalu aku terjatuh lagi
Menatap sekelilingku dalam perasaan iri
Kemanakah arah sejarahku yang tertanam
Kemanakah penghargaan mereka mengenang dalam diam

Benteng ini megah menjulang memberi salam pada kotaku
Benteng ini sepotong sejarah yang hampir berjalan
Benteng ini terapit mahkota diserambi utara dan selatan kotaku
Benteng ini memiliki cerita yang terjaga dalam dekapan ular naga keemasan

Tanpa TUHAN

Retak kaki ini terkoyak masa yang renta
Bengis jiwa-jiwa tak beradab  menggelantungi kehidupan
Yang  ada hanya jeritan dililit derita
Dalam tatanan secuil harapan

Mereka tanpa Tuhan
Menjadikan harta dewa diantara dewa yang sebenarnya
Menjadikan kesombongan teman dalam berjalan
Hatinya begitu ternodai penyakit dunia

Lantas bagaimana dengan rakyat yang menantinya?
Menanti dipimpin jiwa-jiwa pahlawan
Tersenyum menatap masa jayanya negeriku
Bersama tangan-tangan pelindung bangsa

Sepotong dekapan Tuhan dalam hidayah
Meski mereka telah kotor tanpa Tuhan
Telah nista sikapnya termakan salah
Namun Tuhan tetap menunggunya dalam pertaubatan

Minggu, 19 Oktober 2014

Toleransi Beragama

Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Sore itu aku sedang terduduk sambil menggoreskan pena di atas selembar kertas putih, di antara tentramnya jiwa dalam lantunan nasyid Edcoustic, dan di dalam tempat dimana ku letakkan lelah tubuhku. Tiba-tiba dua orang memanggil namaku, dia Eyas dan Novena.

"Kenapa Eyas, begitu tidak semangatnya kamu hari ini ?" tanyaku sambil menyuruhnya duduk
"Apa seperti itu muka pendusta perintah Tuhannya?" Sahut Novena dengan nada kesal
"Biarkan aku yang menjelaskan Ven !" Jawab Eyas
"Tapi aku sudah muak dengan perilaku mereka yang sok suci ! Harusnya kamu mengerti itu Eyas ?"
"Vena, Eyas sudah jangan bertengkar, jujur aku tidak mengerti, sebenarnya ada apa ?" 
"Tanyakan saja pada Eyas mbak, aku sudah terlanjur emosi."
"Begini mbak, apa guna Pancasila jika di akhirnya berkata tidak ada hak untuk pemimpin non islam di  sekolah negeri ? Apakah begitu hinanya kita sebagai kaum minoritas di antara mayoritas? Katanya islam  'lakum diinukum wa liyadiin'? Toleransi dalam bentuk apa kalau menurut mbak? Dulu nabi Muhammad saja  menjenguk dan mendoakan kaum Quraisy ketika suatu waktu tidak melempari beliau saat berdakwah, terus  bagaimana implementasi QS. Al-Kafirun : 6 ?" Eyas menjelaskan panjang lebar
"Aku sudah menduga kamu akan menanyakan hal ini."
"Darimana mbak tahu? Pasti mbak juga gak akan belain kita." Tukas Novena
"Kamu salah Ven, lebih tepatnya mbak tidak ingin membela siapapun."
"Maksud mbak kita datang kesini jauh-jauh hanya untuk disuruh pulang?" Jawab Novena dengan wajah  marah 
"Agama itu masalah klasik dik, tapi bagiku ketika kita memilih pemimpin hanya di lihat dari segi agama tanpa  kemampuan sama saja, tak ada artinya. Jika kamu yakin, maju terus saja Eyas, aku percaya  kemampuanmu. Untuk masalah toleransi yang bagaimana aku pun tidak mengerti, sebab orang memiliki  pemikiran yang berbeda."

Sepenggal percakapan kecil kami bertiga, cukup memberi cambukan untukku tentang bagaimana kita menanankan toleransi beragama. Tapi semua hanya kembali pada masing-masing orang dengan sudut pandang mereka sendiri. Bayangkan saja, ketika kita hanya seorang diri berdiri sebagai ustad ataupun ustadzah di antara puluhan orang pendeta maupun biarawati, atau bahkan sebaliknya, manakah yang benar di antara kita? COBA RENUNGKAN.