Entri Populer

Minggu, 19 Oktober 2014

Toleransi Beragama

Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Sore itu aku sedang terduduk sambil menggoreskan pena di atas selembar kertas putih, di antara tentramnya jiwa dalam lantunan nasyid Edcoustic, dan di dalam tempat dimana ku letakkan lelah tubuhku. Tiba-tiba dua orang memanggil namaku, dia Eyas dan Novena.

"Kenapa Eyas, begitu tidak semangatnya kamu hari ini ?" tanyaku sambil menyuruhnya duduk
"Apa seperti itu muka pendusta perintah Tuhannya?" Sahut Novena dengan nada kesal
"Biarkan aku yang menjelaskan Ven !" Jawab Eyas
"Tapi aku sudah muak dengan perilaku mereka yang sok suci ! Harusnya kamu mengerti itu Eyas ?"
"Vena, Eyas sudah jangan bertengkar, jujur aku tidak mengerti, sebenarnya ada apa ?" 
"Tanyakan saja pada Eyas mbak, aku sudah terlanjur emosi."
"Begini mbak, apa guna Pancasila jika di akhirnya berkata tidak ada hak untuk pemimpin non islam di  sekolah negeri ? Apakah begitu hinanya kita sebagai kaum minoritas di antara mayoritas? Katanya islam  'lakum diinukum wa liyadiin'? Toleransi dalam bentuk apa kalau menurut mbak? Dulu nabi Muhammad saja  menjenguk dan mendoakan kaum Quraisy ketika suatu waktu tidak melempari beliau saat berdakwah, terus  bagaimana implementasi QS. Al-Kafirun : 6 ?" Eyas menjelaskan panjang lebar
"Aku sudah menduga kamu akan menanyakan hal ini."
"Darimana mbak tahu? Pasti mbak juga gak akan belain kita." Tukas Novena
"Kamu salah Ven, lebih tepatnya mbak tidak ingin membela siapapun."
"Maksud mbak kita datang kesini jauh-jauh hanya untuk disuruh pulang?" Jawab Novena dengan wajah  marah 
"Agama itu masalah klasik dik, tapi bagiku ketika kita memilih pemimpin hanya di lihat dari segi agama tanpa  kemampuan sama saja, tak ada artinya. Jika kamu yakin, maju terus saja Eyas, aku percaya  kemampuanmu. Untuk masalah toleransi yang bagaimana aku pun tidak mengerti, sebab orang memiliki  pemikiran yang berbeda."

Sepenggal percakapan kecil kami bertiga, cukup memberi cambukan untukku tentang bagaimana kita menanankan toleransi beragama. Tapi semua hanya kembali pada masing-masing orang dengan sudut pandang mereka sendiri. Bayangkan saja, ketika kita hanya seorang diri berdiri sebagai ustad ataupun ustadzah di antara puluhan orang pendeta maupun biarawati, atau bahkan sebaliknya, manakah yang benar di antara kita? COBA RENUNGKAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar